Dulu cita-citaku ingin menjadi pemain bulu tangkis, lalu
gagal, dan kini Adam Smith mendidihkan gairahku untuk menjadi ilmuwan ekonomi.
Rhoma Irama adalah sahabat lamaku, kukenal dia sejak poster Hujan Duit-nya
menutupi lubang dinding SD-ku dulu.
Sering, jka kehabisan ide untuk paperku, atau kelelahan
ditimbuni tugas kuliah hingga batok kepalaku menciut, aku melongo di depan foto
Adam Smith dan Rhoma Irama. Kucoba berdialog secara imajiner dengan mereka.
Adam Smith, selalu seperti orang yang tersinggung,
kejengkelan berdesakan dalam kepalanya karena orang-orang tak memahami
kegeniusannya.
Aku bertanya, "Bagaimana Anda bisa menjadi begitu
pintar", Tuan Smith?"
Dia diam saja, tak acuh. Air mukanya berkata: Enyahlah,
Anak Muda! Merepotkan saja. Apa pun yang kukatakan tak'kan kau mengerti!
Belajarlah sana dengan dosen-dosen Prancis goblokmu itu!
Aku mundur.
"Oke, oke, Tuan Smith, tak perlu marah-marah begitu
...."
Aku berbalik, minggat meninggalkan Tuan Smith yang sedang
tidak mood. Tapi baru beberapa langkah aku kaget.
"Hei Orang Udik! Memangnya siapa kamu? Dari mana
asalmu?"
Aku terkejut. Tuan Smith bertanya padaku! Aku berbalik,
kembali menghampiri Tuan Smith.
"Dari Pulau Belitong, Tuan Smith."
"Di mana itu?"
"Di Indonesia, Tuan Smith ...."
"Indonesia? Di mana itu?"
Aduh, aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan.
Kata-kataku macet.
"Ah, sudahlah, Anak Muda. Lupakan saja. Tapi maukah
kau bercerita tentang negerimu?"
"Negeriku?"
"Ya, negerimu? Adakah orang-orang pintar di
sana?"
Pertanyaan yang sulit.
"Ceritakanlah."
Dilematis!
"Ayo, kisahkan kepadaku tentang orang-orang pintar
di negerimu. Apa saja terobosan ilmiah mereka?"
Runyam sekali karena aku hanya tahu satu hal tentang
orang-orang pintar di negeriku.
"Ayo, Anak Muda, jawablah."
Aku melongo dan aku ingin jujur.
"Banyak, Tuan Smith. Di negeriku banyak sekali orang
pintar. pintar mencuri uang Negara."
Wajah Tuan Smith merah padam. Matanya melotot menahan
teriakan. Gagasan yang hebat dan kemarahan ilmiah yang terkunci dalam wajahnya
seolah akan meledak. Ia memberi isyarat agar aku mendekat. Bola matanya
lirak-lirik kiri kanan, seperti takut ada yang memata-matai. Ia berbisik,
emosional, histeris, tertahan.
"Apa kataku dulu! Apa kata teoriku dulu! Benar,
kan? Pengaruh uang tak ubahnya siulan iblis!" Tuan
Smith kembang kempis.
"Semua itu gara-gara kaum monetarist keparat
itu!!"
Aku bingung. Aku ingin bertanya: mengapa? Tapi Tuan Smith
tak memberiku kesempatan. Ia muntab.
"Kau tahu?! Kaum monetarist bersekongkol
mengumpulkan uang agar negeri seperti kalian dapat berutang, lalu pelan-pelan
negeri kalian tergadai! Mereka itu tak ubahnya rentenir! Kolonial model baru!
Tukang ijon! Teori mereka ... teori mereka ...."
Tuan Smith sontak berhenti. Rupanya ada orang lewat,
Arai. Tuan Smith kembali ke sikap semula, sebuah foto yang tak acuh, seakan tak
terjadi apa-apa. Aku pun begitu. Aku tak mau dianggap sinting oleh Arai karena
bicara dergan foto. Kami menyaksikan Arai meninggalkan ruangan. Tuan Smith
menarik kerah bajuku.
"Teori mereka? Pambangunan ekonomi berlandaskan
moneter? Omong kosong sama sekali! Keynesians itu adalah turis dalam ilmu
ekonomi, lebih cocok kalau mereka dimasukkan ke dalam sel! Uang! Semuanya Uang!
Lihatlah akibatnya pada pencuri-pencuri uang di negerimu itu!" Aku
mengangguk takzim. Tuan Smith makin semangat.
"Proyek fisik! Lapangan kerja! Itulah solusi semua
masalah!! Selain itu hanya bualan. Sekarang, lihatlah negerimu itu! Ditelikung
dari luar, digerogoti
dari dalam, tendangan penalti! Sebelas langkah lagi
negerimu menuju bangkrut!!"
Mengerikan! Sungguh mengerikan. Aku sampai merinding
mendengarnya. Pelajaran moral nomor tiga belas segera kutarik: jangan bicarakan
keadaan negeri kita dengan seorang ekonom klasik. Pesimis!
"Satu lagi, Anak Muda, tapi ini rahasia!!"
Tuan Smith celingak-celinguk. "Tak banyak orang yang
tahu! Rahasia ini agak berbahaya! Bisakah kau menjaga rahasia?!" nada Tuan
Smith mengancam. "Bisa?!" "Bisa, Tuan Smith ...."
Tuan Smith berbisik keras, "John Maynard Keynes yang
wajahnya seperti lutung habis bercukur itu sebenarrya adalah mantri hewan yang
menyaru menjadi dosen ekonomi!"
Aku tersentak, luar biasa! Setelah kurenungkan
dalam-dalam, boleh jadi informasi itu benar adanya.
"Setujukah engkau dengan pandapatku itu, Anak Muda?'
Tuan Smith menyentak kerah bajuku, aku tercekik.
"Setuju?"
Setelah kujawab setuju, baru ia melepaskanku.
Tuan Smith tersenyum puas, demikian pula Rhoma Irama di
sebelahnya. Pada detik itu aku langsung tahu rahasia lain bahwa ternyata Rhoma
Irama juga penganut mazhab klasik! Aku ingin sekali mendengar komentarnya.
"Kak Rhoma... apa gerangan pendapatmu tentang negeri
kita?"
Disertai senyum simpatik khasnya, beliau menjawab optimis
sambil mengutip salah satu judul lagu terkenalnya.
"Ok dech ... bagi yang mudha, yang punya ghaya ...
Rambathe Ratha Hayo! Singsingkanh lenganh bajuhh kalau kitah mauh
majuhh!!"